santri.ID – Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dalam bidang pendidikan agama. Jika dulu aktivitas ngaji atau belajar agama Islam dilakukan secara langsung di masjid, majelis taklim, atau pesantren, kini umat Islam dapat mengakses kajian agama dengan mudah melalui platform digital seperti YouTube, TikTok, Spotify, dan berbagai aplikasi belajar Islam lainnya.
Fenomena ini tentu menimbulkan pertanyaan penting di kalangan umat: bagaimana sebenarnya hukum ngaji agama melalui platform digital menurut Islam? Apakah sah dan diperbolehkan? Artikel ini akan membahas secara mendalam dari sisi hukum, etika, serta dampak positif dan negatifnya terhadap kehidupan beragama umat Islam modern.
Perkembangan Ngaji di Era Digital
Di era serba digital ini, akses terhadap ilmu agama menjadi jauh lebih mudah. Dengan satu klik, seseorang bisa mendengarkan ceramah dari ulama internasional, mengikuti kajian tafsir, belajar tajwid, hingga mempelajari fikih ibadah dari ustaz atau asatidz yang kredibel.
Fenomena ini dikenal dengan istilah “ngaji digital” atau “kajian daring”, di mana kegiatan menuntut ilmu agama dilakukan melalui media elektronik seperti:
- Video streaming (YouTube, Facebook Live, Zoom)
- Podcast dan audio kajian (Spotify, Google Podcast)
- Media sosial (TikTok, Instagram, Telegram Channel)
- Aplikasi pembelajaran Islam (Muslim Pro, Umma, TafsirWeb, dll.)
Kehadiran media ini jelas menjadi wasilah atau sarana baru bagi umat untuk menimba ilmu, terutama bagi mereka yang memiliki keterbatasan waktu, tempat, atau akses ke lembaga keagamaan formal.
Pandangan Ulama tentang Ngaji Melalui Media Digital
Para ulama kontemporer umumnya sepakat bahwa mengaji atau menuntut ilmu agama melalui media digital hukumnya boleh, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat Islam.
Hal ini didasarkan pada kaidah fikih:
“Al-wasā’il lahā aḥkām al-maqāṣid”
(Artinya: “Hukum suatu sarana mengikuti hukum tujuannya.”)
Jika tujuan dari penggunaan media digital adalah untuk menuntut ilmu, memperdalam pemahaman agama, dan meningkatkan keimanan, maka hukum penggunaannya adalah mubah (boleh), bahkan bisa menjadi sunnah apabila niatnya untuk mencari ilmu yang bermanfaat.
Beberapa ulama juga menegaskan bahwa Islam tidak pernah membatasi bentuk media untuk menyebarkan dakwah. Selama isi yang disampaikan benar dan sumbernya jelas, media apapun bisa dijadikan sarana untuk berdakwah dan menuntut ilmu.
Dalil dan Landasan Syariat
Dalam Al-Qur’an dan hadis, terdapat banyak dalil yang menekankan pentingnya menuntut ilmu tanpa batas ruang dan waktu.
- QS. Al-Mujadilah [58]: 11
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Ayat ini menunjukkan bahwa menuntut ilmu, termasuk melalui media modern, tetap memiliki nilai tinggi di sisi Allah selama dilakukan dengan niat yang benar. - Hadis Nabi SAW:
“Barang siapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”
(HR. Muslim)
Hadis ini bersifat umum, sehingga mencakup segala bentuk dan cara menuntut ilmu — baik secara tatap muka maupun melalui media digital.
Keutamaan Ngaji Melalui Platform Digital
- Akses ilmu tanpa batas geografis
Platform digital memungkinkan umat Islam di berbagai pelosok dunia mengakses ilmu dari para ulama yang sebelumnya sulit dijangkau. - Efisiensi waktu dan biaya
Ngaji digital dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja, tanpa harus hadir fisik di tempat kajian. Ini sangat membantu bagi pekerja, mahasiswa, atau ibu rumah tangga yang memiliki kesibukan tinggi. - Rekaman dan dokumentasi ilmu
Kajian digital bisa direkam dan diulang kembali untuk memperdalam pemahaman, berbeda dengan kajian tatap muka yang bersifat temporal. - Penyebaran dakwah yang luas
Dengan media sosial, satu potongan ceramah atau kutipan hikmah bisa viral dan menjangkau jutaan orang. Ini menjadi bentuk dakwah bil-hikmah yang relevan dengan zaman modern.
Risiko dan Tantangan Ngaji Melalui Platform Digital
Meski memiliki banyak manfaat, ngaji digital juga mengandung sejumlah risiko dan tantangan yang perlu diwaspadai:
- Kurangnya bimbingan langsung
Dalam ngaji tradisional, santri bisa langsung bertanya dan mendapatkan koreksi dari guru. Sementara dalam platform digital, interaksi ini sering terbatas sehingga potensi kesalahpahaman lebih besar. - Banyaknya sumber yang tidak kredibel
Tidak semua ustaz atau penceramah di internet memiliki kapasitas keilmuan yang memadai. Munculnya fenomena ustaz viral yang lebih mengandalkan gaya retorika ketimbang keilmuan perlu diwaspadai. - Distorsi makna dan konteks
Potongan video pendek atau konten dakwah yang dipenggal tanpa konteks bisa menimbulkan kesalahpahaman terhadap hukum Islam. - Kehilangan adab dalam menuntut ilmu
Ngaji digital terkadang dilakukan sambil rebahan, sambil bermain ponsel, atau tanpa persiapan mental. Hal ini bisa mengurangi keberkahan ilmu karena kurangnya adab terhadap majelis ilmu.
Etika dan Adab Ngaji Digital
Untuk menjaga nilai dan keberkahan dalam belajar agama melalui platform digital, ada beberapa adab yang perlu diperhatikan:
- Niat yang lurus
Niatkan ngaji digital sebagai ibadah untuk mencari ridha Allah, bukan sekadar mengikuti tren atau konten populer. - Memilih guru yang kredibel
Pastikan sumber ilmu berasal dari ulama, ustaz, atau lembaga resmi yang dikenal keilmuannya dan sanad keilmuannya jelas. - Tidak mengambil hukum dari potongan video pendek
Hukum Islam tidak bisa disimpulkan hanya dari satu klip berdurasi 1 menit. Pelajari konteksnya secara utuh. - Mencatat dan menelaah kembali
Meski ngaji dilakukan online, biasakan mencatat ilmu yang didapat dan menelaahnya kembali seperti dalam majelis konvensional. - Berinteraksi dengan adab
Saat berkomentar atau bertanya di kolom chat, gunakan bahasa yang sopan dan hormat sebagaimana beradab kepada guru di dunia nyata.
Hukum Ngaji Digital dalam Perspektif Ulama Kontemporer
Banyak lembaga dan ulama besar yang sudah memberikan pandangan positif terhadap penggunaan teknologi untuk dakwah dan pembelajaran agama.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam beberapa fatwanya menyatakan bahwa penggunaan media digital untuk dakwah dan pendidikan agama hukumnya boleh, selama memenuhi kriteria:
- Isi dakwahnya benar dan tidak menyesatkan.
- Disampaikan oleh orang yang berkompeten.
- Tidak melanggar adab, etika, dan akhlak Islam.
Sementara itu, ulama dari Al-Azhar Kairo dan lembaga-lembaga Islam di Timur Tengah juga mendorong umat Islam memanfaatkan teknologi sebagai sarana dakwah modern. Bahkan, banyak dari mereka kini memiliki kanal YouTube resmi dan aplikasi pengajaran daring.
Kesimpulan
Hukum ngaji agama melalui platform digital adalah boleh (mubah), bahkan dapat menjadi ibadah yang berpahala besar apabila dilakukan dengan niat yang benar, guru yang tepat, dan adab yang terjaga.
Namun, ngaji digital tidak boleh sepenuhnya menggantikan ngaji langsung (tatap muka), karena interaksi personal dengan guru tetap penting untuk memastikan pemahaman yang benar dan mendalam.
Oleh karena itu, idealnya umat Islam memadukan keduanya: belajar agama secara digital sebagai pelengkap, dan bertatap muka dengan guru sebagai penguat ilmu dan sanad keilmuan.
Dengan cara ini, teknologi dapat menjadi sarana dakwah yang produktif dan sesuai dengan nilai-nilai Islam — menghadirkan ilmu yang berkah di era modern tanpa kehilangan ruh keilmuan yang bersanad.
Sumber:
- Majelis Ulama Indonesia (MUI). (2023). Fatwa tentang Dakwah dan Kajian Digital.
- Al-Ghazali, Imam. Ihya Ulumuddin, Dar al-Ma’rifah, Beirut.
- Kementerian Agama Republik Indonesia. (2022). Transformasi Digital Dakwah Islam di Indonesia.
- Yusuf al-Qaradawi. (2012). Fiqh al-Da‘wah.
- Quraish Shihab. (2020). Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Lentera Hati.
- Situs Resmi Al-Azhar Kairo (2023). Digital Da’wah Guidelines for Muslim Scholars.










