Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia memiliki peran penting dalam membentuk karakter, moral, dan intelektualitas generasi Muslim. Di dalamnya, terdapat sistem pendidikan yang menekankan nilai-nilai keikhlasan, ketaatan, serta penghormatan terhadap guru atau kiai. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, muncul isu yang sering diperbincangkan di kalangan akademisi dan masyarakat: feodalisme di lingkungan pesantren.
Isu ini mencuat karena adanya pandangan bahwa hubungan antara santri dan kiai terkadang dianggap terlalu hierarkis atau bahkan menimbulkan jarak sosial. Lalu, bagaimana sebenarnya sikap santri terhadap isu feodalisme ini? Apakah benar feodalisme masih terjadi di pesantren, atau justru hubungan antara santri dan kiai adalah bentuk penghormatan yang luhur dalam tradisi keilmuan Islam? Artikel ini akan mengulas secara mendalam persoalan tersebut dari perspektif sosial, keagamaan, dan budaya pesantren.
Pengertian Feodalisme dan Konteksnya di Pesantren
Secara umum, feodalisme adalah sistem sosial yang menempatkan seseorang dalam hierarki kekuasaan berdasarkan status atau keturunan, di mana pihak bawah harus tunduk mutlak pada pihak atas. Dalam konteks sosial modern, istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan praktik-praktik yang dianggap mengekang kebebasan berpikir atau partisipasi seseorang dalam lingkungan tertentu.
Ketika dikaitkan dengan pesantren, istilah feodalisme biasanya merujuk pada hubungan yang sangat kuat antara kiai dan santri, di mana santri dianggap harus tunduk sepenuhnya pada otoritas kiai tanpa banyak ruang untuk berdiskusi atau mengkritik. Namun, pandangan ini perlu dikaji lebih dalam agar tidak menimbulkan kesalahpahaman terhadap esensi pendidikan pesantren yang sejatinya berbasis adab dan penghormatan.
Hubungan Kiai dan Santri dalam Tradisi Pesantren
Dalam tradisi pesantren, kiai bukan hanya seorang guru, tetapi juga pembimbing spiritual, panutan moral, dan figur yang dihormati karena keilmuannya. Santri belajar bukan hanya untuk mendapatkan pengetahuan agama, tetapi juga untuk meneladani akhlak, keikhlasan, dan ketawadhuan kiai.
Sistem ini bukan bentuk feodalisme, melainkan cerminan dari ta’dzim—yakni sikap hormat kepada guru yang diajarkan dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda:
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati orang tua, tidak menyayangi anak-anak, dan tidak menghargai ulama.” (HR. Ahmad)
Dengan demikian, penghormatan santri kepada kiai adalah bagian dari nilai keislaman yang luhur, bukan penindasan sosial. Namun, dalam praktiknya, hubungan ini memang bisa salah dipahami sebagai bentuk feodalisme jika tidak diimbangi dengan pemahaman yang benar dan sistem pendidikan yang terbuka.
Isu Feodalisme: Antara Persepsi dan Realitas
Tidak dapat dipungkiri, di beberapa pesantren tradisional, masih terdapat praktik yang oleh sebagian kalangan dianggap bersifat “feodal”, misalnya:
- Santri tidak boleh menyanggah pendapat kiai meskipun dalam konteks ilmiah.
- Segala keputusan kiai dianggap mutlak tanpa ruang diskusi.
- Santri atau pengurus harus patuh tanpa banyak bertanya.
Namun, penting dipahami bahwa sistem ini muncul bukan karena kiai ingin berkuasa, melainkan karena tradisi pendidikan pesantren lebih menekankan pada pembentukan karakter adab sebelum transfer pengetahuan. Tujuannya adalah agar santri terbiasa disiplin, sopan, dan rendah hati.
Dalam pesantren modern, banyak kiai justru membuka ruang dialog, diskusi, bahkan kritik yang konstruktif. Pesantren kini tidak lagi sekadar tempat mengaji kitab kuning, tetapi juga menjadi ruang bagi pengembangan intelektual, sosial, dan teknologi. Dengan demikian, anggapan bahwa pesantren identik dengan feodalisme tidak sepenuhnya benar.
Sikap Santri Terhadap Isu Feodalisme
Santri yang cerdas dan berakhlak akan memahami bahwa ketaatan kepada kiai bukanlah bentuk perbudakan sosial, melainkan ekspresi penghormatan terhadap ilmu. Adapun sikap santri yang ideal terhadap isu feodalisme di pesantren dapat dilihat dari beberapa hal berikut:
- Menjaga Adab dan Hormat kepada Kiai
Adab kepada guru adalah pondasi utama dalam menuntut ilmu. Santri harus menghormati kiai sebagai pewaris ilmu Nabi. Namun, penghormatan ini tidak berarti menutup ruang berpikir kritis. - Berpikir Kritis dengan Etika
Santri modern dituntut untuk memiliki daya kritis terhadap berbagai isu keagamaan dan sosial. Namun, kritik harus disampaikan dengan cara yang santun dan ilmiah, bukan dengan sikap menentang. - Menjaga Keseimbangan antara Ketaatan dan Kemandirian
Santri perlu memahami bahwa kiai adalah pembimbing, bukan penguasa mutlak. Oleh karena itu, setelah keluar dari pesantren, santri harus mampu mandiri dan menerapkan ilmunya di masyarakat tanpa kehilangan nilai-nilai adab. - Menolak Sikap Tunduk Buta
Islam tidak mengajarkan kepatuhan tanpa berpikir. Santri seharusnya menolak segala bentuk ketundukan yang tidak berdasar pada ajaran agama, termasuk jika ada praktik yang menyimpang dari nilai keadilan. - Mengembangkan Dialog Terbuka di Lingkungan Pesantren
Pesantren perlu menumbuhkan budaya diskusi dan musyawarah agar santri terbiasa berpikir rasional dan ilmiah. Dengan cara ini, nilai-nilai kepatuhan tetap terjaga tanpa menghambat kebebasan berpikir.
Transformasi Pesantren Menuju Keterbukaan
Seiring perkembangan zaman, pesantren telah mengalami banyak perubahan. Jika dulu pesantren lebih tertutup dan tradisional, kini banyak pesantren yang mengintegrasikan pendidikan umum, teknologi, dan kewirausahaan dalam kurikulumnya.
Transformasi ini membuktikan bahwa pesantren tidak anti-modern dan tidak identik dengan feodalisme. Bahkan, pesantren kini menjadi pusat pemberdayaan masyarakat, tempat lahirnya wirausahawan, peneliti, dan tokoh sosial.
Program seperti Santripreneur, Pesantren Go Digital, dan Pesantren Hijau menunjukkan bahwa pesantren terus beradaptasi dengan perkembangan global tanpa meninggalkan nilai-nilai tradisi.
Menempatkan Kiai dan Santri dalam Relasi Ilmiah yang Sehat
Kiai dan santri memiliki hubungan timbal balik yang unik:
- Kiai adalah sumber ilmu dan keteladanan.
- Santri adalah penerus perjuangan dan pengembang ilmu.
Relasi ini seharusnya dilandasi oleh kasih sayang, tanggung jawab, dan tujuan bersama untuk menegakkan nilai-nilai Islam. Jika kedua pihak memahami posisi dan perannya secara proporsional, maka tudingan feodalisme tidak akan relevan lagi.
Kiai harus menjadi sosok yang bijak, terbuka terhadap kritik, dan memberi ruang tumbuh bagi santri. Sementara santri harus menjaga adab, menghormati guru, dan tetap berpikir kritis serta produktif.
Kesimpulan
Isu feodalisme di pesantren sebenarnya lebih banyak muncul karena kesalahpahaman dalam memaknai konsep ta’dzim dan ketaatan kepada guru. Pesantren sejatinya bukan lembaga feodal, melainkan pusat pendidikan yang menanamkan nilai keikhlasan, adab, dan kemandirian.
Santri harus memiliki sikap seimbang: menghormati kiai dengan penuh adab, tetapi juga berpikir kritis dan berani mengemukakan pendapat secara ilmiah. Dengan demikian, pesantren akan tetap menjadi lembaga pendidikan Islam yang dinamis, terbuka, dan relevan dengan tantangan zaman.
Feodalisme hanya akan tumbuh jika santri kehilangan daya kritisnya, atau kiai melupakan nilai kasih sayang dalam mendidik. Maka, yang dibutuhkan bukan penghapusan tradisi, tetapi pemurnian makna hubungan guru dan murid berdasarkan nilai Islam yang adil dan penuh kasih.
Sumber:
- Kementerian Agama RI. (2024). Transformasi Pendidikan Pesantren di Era Modern.
- NU Online. (2023). Antara Ta’dzim dan Feodalisme di Dunia Pesantren.
- Quraish Shihab. (2011). Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan.
- Republika.co.id. (2024). Santri, Adab, dan Dinamika Hubungan Kiai-Santri di Pesantren.