Menyikapi Media yang Memojokkan Pendidikan Pesantren – Dalam beberapa tahun terakhir, pemberitaan mengenai pesantren sering kali menjadi sorotan media nasional. Sayangnya, tidak semua pemberitaan tersebut bersifat adil dan objektif. Ada kalanya pesantren diberitakan secara negatif, bahkan cenderung dipersepsikan sebagai lembaga tertutup, kolot, atau tempat munculnya paham radikal. Padahal, faktanya tidak demikian.
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang telah melahirkan ribuan tokoh bangsa, ulama, pendidik, dan pemimpin masyarakat. Peran pesantren dalam membangun moralitas dan karakter bangsa sudah tidak terbantahkan. Namun, framing media yang tidak proporsional dapat menimbulkan kesalahpahaman publik terhadap dunia pesantren.
Artikel ini akan membahas bagaimana seharusnya kita menyikapi media yang memojokkan pendidikan pesantren, baik dari sisi masyarakat umum, pemerintah, maupun pihak pesantren itu sendiri. Dengan pemahaman yang objektif, kita dapat mengembalikan citra pesantren sebagai lembaga yang berperan besar dalam membangun Indonesia berakhlak dan berilmu.
Pentingnya Peran Pesantren dalam Sejarah Indonesia
Sebelum membahas masalah media, penting untuk memahami posisi strategis pesantren dalam sejarah bangsa. Pesantren telah ada jauh sebelum sistem pendidikan modern diperkenalkan di Indonesia. Lembaga ini menjadi pusat pendidikan Islam sekaligus tempat perjuangan melawan penjajahan.
Tokoh-tokoh besar seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, KH Wahid Hasyim, hingga KH Maimoen Zubair merupakan produk pesantren. Mereka tidak hanya mendalami ilmu agama, tetapi juga berperan aktif dalam pergerakan kemerdekaan dan pembentukan moral bangsa.
Fakta ini menunjukkan bahwa pesantren bukan sekadar lembaga keagamaan, tetapi juga pusat pembentukan karakter dan peradaban. Maka, ketika pesantren disudutkan oleh pemberitaan negatif, sesungguhnya yang diserang bukan hanya lembaga pendidikan Islam, tetapi juga warisan luhur bangsa Indonesia.
Fenomena Media yang Memojokkan Pesantren
Di era digital saat ini, media memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini publik. Sayangnya, tidak semua media menjalankan prinsip jurnalisme yang adil dan berimbang. Beberapa kasus kriminal yang melibatkan individu di lingkungan pesantren terkadang digeneralisasi sehingga seolah-olah mencerminkan keseluruhan dunia pesantren.
Contohnya, ketika ada kasus kekerasan, pelecehan, atau penyimpangan yang dilakukan oknum di pesantren tertentu, media lebih sering menyoroti label “pesantren” dibanding kasus individunya. Hal ini berbeda dengan lembaga pendidikan umum, di mana pelaku biasanya disebut sebagai “guru” atau “sekolah tertentu,” tanpa menstigma seluruh sistemnya.
Framing seperti ini menyebabkan munculnya stereotip negatif bahwa pesantren adalah tempat yang tertutup, konservatif, bahkan ekstrem. Padahal, lebih dari 90% pesantren di Indonesia berorientasi pada pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat, bukan radikalisme atau kekerasan.
Dampak Pemberitaan Negatif terhadap Dunia Pesantren
Ketika media terus menampilkan sisi buruk pesantren tanpa keseimbangan informasi, dampaknya bisa sangat luas. Pertama, kepercayaan masyarakat terhadap pesantren bisa menurun. Sebagian orang tua mungkin menjadi ragu untuk memondokkan anaknya, khawatir dengan stigma negatif yang berkembang.
Kedua, citra santri pun bisa ikut tercoreng. Di beberapa daerah, muncul pandangan miring terhadap lulusan pesantren seolah mereka tidak modern atau tidak terbuka terhadap perubahan. Padahal, banyak santri yang kini menjadi akademisi, pengusaha, hingga pejabat publik yang berprestasi.
Ketiga, pemberitaan yang tidak proporsional dapat memperlebar jarak antara dunia pesantren dan masyarakat modern. Pesantren yang sejatinya berperan sebagai jembatan moral dan spiritual bangsa, malah dianggap sebagai lembaga tertinggal.
Menyikapi dengan Bijak: Perspektif Masyarakat
Sebagai masyarakat yang cerdas, kita perlu bersikap kritis terhadap pemberitaan media. Tidak semua informasi yang beredar di media sosial maupun portal berita mencerminkan fakta sebenarnya. Saat membaca berita tentang pesantren, penting untuk memeriksa sumber, konteks, dan keseimbangan informasi.
Masyarakat perlu memahami bahwa satu kasus yang terjadi di satu lembaga tidak bisa digeneralisasi terhadap seluruh pesantren di Indonesia. Saat muncul berita negatif, sebaiknya kita mencari informasi dari berbagai sumber — termasuk klarifikasi resmi dari pesantren atau Kementerian Agama.
Selain itu, masyarakat juga perlu memperkuat literasi media agar tidak mudah termakan oleh judul-judul sensasional. Banyak pesantren justru berkontribusi besar dalam pendidikan, sosial, dan ekonomi umat. Cerita positif ini perlu lebih sering disebarluaskan agar mengimbangi berita negatif yang tidak proporsional.
Peran Pesantren dalam Menjaga Citra Positif
Pesantren juga perlu mengambil langkah proaktif dalam menjaga citra lembaganya. Salah satu kelemahan pesantren selama ini adalah kurangnya publikasi dan transparansi informasi. Banyak pesantren yang masih tertutup terhadap media, sehingga berita positif jarang muncul ke permukaan.
Kini saatnya pesantren membangun sistem komunikasi yang terbuka, profesional, dan terencana. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:
- Membentuk tim humas atau media center pesantren yang bertugas mengelola informasi, membuat konten positif, dan memberikan klarifikasi bila ada isu miring.
- Memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan kegiatan positif pesantren seperti pengajian, kegiatan sosial, prestasi santri, dan kontribusi masyarakat.
- Menjalin hubungan baik dengan jurnalis dan media lokal agar tercipta kerja sama yang sehat dan saling menghormati.
- Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam manajemen pesantren sehingga masyarakat memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap lembaga tersebut.
Dengan langkah-langkah ini, pesantren dapat mengontrol narasi publik dan mengubah stigma negatif menjadi citra positif yang sesuai dengan realita.
Tanggung Jawab Media terhadap Dunia Pesantren
Media memiliki tanggung jawab moral dan profesional untuk menyajikan berita yang berimbang, akurat, dan beretika. Prinsip jurnalisme sejati menuntut agar setiap pemberitaan tidak hanya berfokus pada sensasi, tetapi juga memberikan konteks yang adil.
Dalam kasus pemberitaan tentang pesantren, media seharusnya menelusuri fakta secara mendalam, tidak tergesa-gesa membuat kesimpulan, dan memberikan ruang bagi pihak pesantren untuk memberikan klarifikasi.
Selain itu, media juga perlu memperbanyak liputan tentang hal-hal positif di dunia pesantren — seperti peran pesantren dalam pendidikan karakter, pemberdayaan ekonomi umat, hingga gerakan sosial kemanusiaan.
Jika media mampu bersikap profesional, maka masyarakat akan memiliki pandangan yang lebih proporsional terhadap pesantren.
Pemerintah dan Kemenag: Perlu Turun Tangan
Kementerian Agama (Kemenag) memiliki peran strategis dalam melindungi dan memperkuat eksistensi pesantren. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren sudah menegaskan bahwa pesantren merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional yang diakui negara.
Maka, ketika muncul pemberitaan negatif yang tidak objektif, pemerintah perlu hadir memberikan klarifikasi dan pendampingan hukum terhadap pesantren yang dirugikan. Selain itu, Kemenag juga bisa memfasilitasi pelatihan komunikasi publik bagi para pengasuh pesantren agar mampu berinteraksi dengan media secara lebih efektif.
Penutup
Pesantren telah menjadi benteng moral dan spiritual bangsa Indonesia selama berabad-abad. Ketika media memberitakan hal-hal negatif secara tidak proporsional, tugas kita adalah menyikapinya dengan bijak dan cerdas. Jangan sampai satu kesalahan individu mencoreng nama baik ribuan lembaga yang telah berjasa membangun karakter bangsa.
Sebagai masyarakat, kita perlu memperkuat literasi media dan terus mendukung pesantren agar tetap menjadi pusat ilmu, akhlak, dan kemanusiaan. Di sisi lain, pesantren juga harus membuka diri terhadap perkembangan zaman dan aktif membangun citra positif melalui publikasi yang profesional.
Dengan kolaborasi antara masyarakat, media, dan pemerintah, citra pesantren akan tetap terjaga — bukan hanya sebagai lembaga pendidikan Islam, tetapi juga sebagai pilar penting dalam menjaga peradaban dan moral bangsa.
Sumber:
- Kementerian Agama Republik Indonesia – Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren.
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
- Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai. LP3ES, 2011.
- NU Online, Republika Pesantren, dan Detik.com (rubrik pendidikan dan keagamaan).