7 Hal yang Biasa Dilupakan Alumni Pondok Pesantren Setelah Lulus – Pondok pesantren adalah tempat yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga membentuk karakter, kedisiplinan, dan spiritualitas para santri. Di lingkungan pesantren, kehidupan penuh dengan rutinitas ibadah, adab terhadap guru, dan semangat kebersamaan. Namun, ketika para santri telah lulus dan kembali ke masyarakat, tidak sedikit yang mulai kehilangan sebagian nilai-nilai yang dulu mereka pelajari dengan penuh ketekunan.
Fenomena ini bukan hal baru. Banyak alumni pesantren yang, tanpa disadari, meninggalkan kebiasaan baik yang dulu menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka. Padahal, nilai-nilai tersebut merupakan fondasi utama yang menjadikan lulusan pesantren berbeda dan lebih berkarakter dibandingkan lulusan lembaga pendidikan umum lainnya.
Artikel ini akan membahas 7 hal yang biasa dilupakan alumni pondok pesantren setelah lulus, sebagai bentuk refleksi agar nilai-nilai pesantren tetap hidup dalam diri setiap santri meski sudah tidak lagi berada di lingkungan pondok.
1. Disiplin dalam Waktu dan Ibadah
Salah satu kebiasaan utama di pesantren adalah disiplin waktu, terutama dalam hal ibadah. Santri terbiasa bangun sebelum subuh, melaksanakan shalat berjamaah tepat waktu, dan mengatur jadwal belajar serta kegiatan harian dengan tertib. Namun, setelah lulus dan kembali ke masyarakat, banyak alumni yang mulai longgar dalam menjaga kedisiplinan ini.
Tuntutan pekerjaan, kesibukan kuliah, atau perubahan lingkungan sering kali membuat mereka lalai dalam menjaga waktu shalat berjamaah atau tadarus harian. Padahal, kedisiplinan waktu adalah salah satu karakter khas pesantren yang seharusnya menjadi ciri utama alumni di manapun mereka berada.
2. Tradisi Mengaji dan Muroja’ah
Di pesantren, santri tidak pernah lepas dari kegiatan ngaji kitab kuning, hafalan, dan muroja’ah (mengulang hafalan). Aktivitas ini tidak hanya meningkatkan pengetahuan agama, tetapi juga menjaga koneksi spiritual dengan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu Islam.
Sayangnya, setelah lulus, banyak alumni yang mulai jarang membuka kitab kuning atau bahkan membaca Al-Qur’an secara rutin. Kesibukan duniawi menjadi alasan umum. Padahal, menjaga rutinitas belajar agama secara kontinu adalah cara untuk menjaga cahaya ilmu agar tetap menyala dalam hati dan akal.
3. Adab terhadap Guru (Kiai dan Ustaz)
Salah satu warisan paling mulia dari pesantren adalah adab terhadap guru. Santri diajarkan untuk menghormati kiai, tidak membantah, selalu meminta doa, dan menjaga hubungan dengan penuh takzim. Setelah lulus, banyak alumni yang mulai melupakan tradisi ini — jarang silaturahmi, jarang mengirim kabar, bahkan lupa memohon doa restu ketika hendak mengambil keputusan besar dalam hidup.
Padahal, keberkahan ilmu dan kehidupan sering kali lahir dari doa dan ridha guru. Menjaga hubungan dengan kiai bukan sekadar formalitas, tetapi bentuk penghargaan terhadap sumber ilmu yang telah membentuk kepribadian mereka.
4. Hidup Sederhana dan Zuhud
Kehidupan di pesantren biasanya sederhana: makan bersama di nampan, tidur di kamar beramai-ramai, dan hidup tanpa kemewahan. Nilai zuhud (tidak berlebihan terhadap dunia) menjadi bagian penting dalam pendidikan santri. Namun, setelah lulus, banyak alumni yang mulai terbawa arus gaya hidup modern — sibuk mengejar popularitas, karier, atau kekayaan tanpa diimbangi nilai kesederhanaan.
Padahal, kesederhanaan bukan berarti miskin, melainkan mampu mengendalikan diri dari cinta dunia yang berlebihan. Alumni pesantren seharusnya menjadi teladan dalam hal ini, menunjukkan bahwa kekayaan tidak akan mengalahkan keshalihan dan kerendahan hati.
5. Tradisi Kebersamaan dan Gotong Royong
Kehidupan santri penuh dengan kebersamaan dan gotong royong. Dari kegiatan kebersihan pondok, makan bersama, hingga kerja bakti setiap pekan, semuanya dilakukan secara kolektif. Setelah lulus, banyak yang terjebak dalam kehidupan individualistis — sibuk dengan urusan pribadi dan melupakan pentingnya solidaritas sosial.
Padahal, semangat gotong royong yang ditanamkan di pesantren sangat relevan dalam kehidupan masyarakat. Alumni pesantren diharapkan bisa menjadi agen perubahan sosial yang mampu menggerakkan masyarakat untuk peduli dan bekerja sama demi kebaikan bersama.
6. Konsistensi dalam Berdakwah
Salah satu ciri santri sejati adalah semangat berdakwah dan menyebarkan ilmu. Di pesantren, santri terbiasa menyampaikan ceramah, mengajar anak-anak kecil mengaji, atau menjadi imam shalat. Namun setelah lulus, banyak yang kehilangan semangat ini karena merasa sibuk atau tidak percaya diri.
Padahal, dakwah tidak selalu berarti berdiri di mimbar. Dakwah juga bisa dilakukan dengan tulisan, perbuatan baik, dan sikap yang mencerminkan nilai Islam. Alumni pesantren seharusnya tetap menjadi penerang bagi lingkungannya, di mana pun mereka berada.
7. Rasa Syukur dan Tawakal kepada Allah
Selama di pesantren, santri dilatih untuk selalu bersyukur atas segala keadaan — makan sederhana pun dianggap nikmat, tidur di lantai pun tetap penuh kebahagiaan. Setelah hidup di luar pesantren, sebagian alumni mulai sulit merasa cukup, mudah mengeluh, dan lupa bersyukur atas nikmat kecil.
Padahal, nilai syukur dan tawakal adalah fondasi spiritual yang membuat hidup santri penuh ketenangan. Rasa cukup dan keikhlasan menerima takdir adalah buah dari pendidikan pesantren yang tidak boleh hilang meski mereka telah sukses di dunia luar.
Penutup
Lulusan pesantren membawa warisan besar berupa ilmu, adab, dan karakter Islami. Namun, menjaga nilai-nilai tersebut setelah lulus memang tidak mudah. Dunia luar penuh tantangan yang bisa membuat seseorang lupa pada jati dirinya sebagai santri.
Oleh karena itu, penting bagi alumni pesantren untuk terus merenungi nilai-nilai yang telah diajarkan di pondok, seperti disiplin, tawadhu, kesederhanaan, dan semangat dakwah. Menghidupkan kembali tradisi pesantren di tengah masyarakat bukan hanya menjaga identitas pribadi, tetapi juga bentuk pengabdian nyata terhadap agama dan bangsa.
Setiap alumni adalah cermin pesantren tempat ia belajar. Bila nilai-nilai pesantren terus dijaga, maka keberkahan ilmu akan selalu mengiringi langkah mereka di mana pun berada.
Sumber:
- Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai. LP3ES, 2011.
- Kementerian Agama Republik Indonesia – Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren.
- NU Online & Republika Pesantren.
- Observasi lapangan dan pengalaman alumni pesantren di berbagai daerah.